kini ada pendatang baru asal Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang
tak kalah kinclongnya. Varietas tersebut adalah lele phyton.
Yang menarik, jika lele sangkuriang ditemukan oleh para peneliti
bergelar akademik, lele phyton ditemukan oleh kelompok pembudidaya yang
belajar secara otodidak. “Tapi kami yakin, secara kualitas lele phyton
tak kalah dengan lele sangkuriang,” kata Wawan Setiawan, Ketua kelompok
pembudidaya ikan air tawar Sinar Kehidupan Abadi yang menjadi penemu
lele phyton.
Kualitas lele phyton juga diakui oleh Kasubdin Perikanan Budidaya
Provinsi Banten, Wahjul Chair. Menurutnya, berdasarkan hasil pengujian
ilmiah, lele phyton memang punya kualitas yang setara dengan lele
sangkuriang. “Meski lele phyton ditemukan oleh pembudidaya namun
kualitasnya boleh diadu dengan lele sangkuriang yang ditemukan dari
laboratorium,” puji Wahjul.
Salah satu indikator tingginya kualitas lele phyton bisa dilihat dari
konversi pakannya. Memiliki FCR (Food Convertion Ratio) 1:1, maka satu
kilogram pakan yang diberikan kepada lele phyton juga akan menghasilkan
sekilo daging. Bandingkan dengan FCR milik lele sangkuriang yang punya
perbandingan 1: 0,81. Bukan itu saja, keunggulan lele phyton yang lain
adalah soal rasanya. Memiliki tubuh bak ular phyton, lele phyton sangat
lincah bergerak. Hal ini kemudian berkorelasi positif dengan rasa
dagingnya. “Karena lebih lincah, rasa daging lele phyton terasa lebih
enak dan gurih karena lemak yang terkandung lebih sedikit,” kata Wawan.
Bukan itu saja, karena lebih langsing lele phyton terlihat lebih menarik
jika disajikan dalam masakan ketimbang lele dumbo yang tambun. Apalagi
jika lele phyton diolah menjadi pecel lele, makin klop lah
penampilannya. Kemampuan adaptasi Wawan, yang kelompoknya bermarkas di
desa Bayumundu, Kecamatan Keduhejo, Pandeglang menuturkan, ditemukannya
lele phyton berawal dari kenyataan benih yang ‘diimpor’ dari daerah lain
lebih sering mati jika dipelihara di kolam di desa tersebut.
Benih asal daerah lain, kata Wawan tidak punya kemampuan untuk
beradaptasi dengan iklim desa Bayumundu yang dingin. “Suhu di desa kami
bisa mencapai 17°C pada malam hari. Akibatnya benih yang didatangkan
dari daerah lain tidak mampu beradaptasi dan akibatnya mati,” tuturnya.
Wawan menceritakan, kelompoknya pernah mendatangkan setengah juta benih
lele dari Lampung. Namun, benih tersebut memiliki tingkat mortalitas
(kematian) yang sangat tinggi. “Seharusnya kami bisa panen 50 ton,
ternyata hanya bisa panen sebanyak 22 ton. Akhirnya, kami berfikir bisa
nggak bisa kami harus mencetak benih sendiri,” katanya.
Berawal dari kondisi tersebut, Wawan dan kelompoknya kemudian mulai
mencoba mengembangkan lele asli pandeglang yang cocok dengan iklim di
daerah tersebut. Setelah hampir dua tahun melakukan percobaan trial and
error, lahir lah lele phyton pada 2004.
Wawan menjelaskan, lele phyton dihasilkan dengan menyilangkan induk eks
Thailand generasi kedua (F2) dengan induk lele lokal. “Untuk induk lele
lokalnya, kami tak tahu generasi yang ke berapa. Karena sudah
bertahun-tahun dikembangkan di sini,” jelasnya. Digunakannya induk lele
lokal dalam proses persilangan kemudian menghasilkan keunggulan lele
phyton yang lain, yaitu kemampuan adaptasi terhadap iklim dingin yang
dirniliki kabupaten Pandeglang. Kemampuan adaptasi tersebut membuat
tingkat mortalitas lele phyton sangat rendah. Survival Rate (SR/tingkat
kelangsungan hidup) lele phyton bisa jadi di atas di atas 90%,” kata
Wawan yakin.
Kemampuan adaptasi lele phyton bukan sekedar berguna untuk daerah
dingin, untuk daerah beriklim panas lele phyton punya kemampuan adaptasi
yang luar biasa. “Berdasarkan pengalaman, benih yang dihasilkan di
daerah dingin selalu bisa bertahan di daerah yang berikilm dingin.
Begitu juga halnya dengan lele phyton,” jelas Wawan. Untung terus. Yang
jelas, kualitas lele phyton menjanjikan keuntungan marathon alias terus
menerus.Menurut Wawan, dengan modal awal Rp5,8 juta, pendapatan
pembudidaya bisa mencapai Rp. 7,2 juta. Itu artinya ada keuntungan
sebesar 1,4 juta untuk 50 hari siklus lele phyton.
Begini perinciannya, untuk satu kolam dengan 1.000 ekor benih tebar dan
harga benih Rp. 150/ekor, maka dibutuhkan Rp. 1,5 juta untuk pengadaan
benih. Kemudian selama 50 hari pemeliharaan dibutuhkan satu ton pakan
dengan harga Rp. 4.300/kg. Itu artinya dibutuhkan Rp. 4,3 juta untuk
pengadaan pakan. Jadi total modal yang perlu disiapkan oleh pembudidaya
Rp. 5,8 juta. Setelah 50 hari pemeliharaan, panen yang akan diperoleh
mencapai satu ton.
Dengan harga jual Rp. 7.200/kg, pendapatan yang dikeruk pun mencapai Rp.
7,2 juta. Jadi, keuntungan yang bisa diperoleh mencapai Rp. 1,4
juta/siklus. “Yang membuat budidaya lele phyton semakin besar peluangnya
adalah masih minimnya pasok ikan lele. Di Banten saja kebutuharmya yang
mencapai 7 ton/hari belum terpenuhi,” kata Wawan. Kesimpulannya, buat
anda yang ingin dipatuk keuntungan budidaya, lele phyton adalah pilihan
yang tepat.
Pesona Magis Lele Phyton
Jika anda bertanya mengapa lele yang satu ini diberi nama lele phyton,
mungkin dengan melihat bentuknya anda akan mafhum mengapa nama itu
muncul. Bentuk tubuh lele ini, terutama kepalanya memang mirip dengan
ular phyton. Tapi, asal tahu saja, ada unsur magis mengapa akhirnya lele
made in desa Bayumundu itu dinamakan lele phyton. “Desa kami memang
sangat kental dengan unsur magis, segala sesuatunya selalu dikaitkan
dengan halhal ghaib, termasuk soal penamaan ikan lele,” ujar Wawan
Setiawan.
Menurut Wawan, setelah berkali-kali gagal dalam percobaan untuk
menghasilkan induk lele yang berkualitas, suatu malam anggota kelompok
yang bertugas untuk melakukan penyilangan induk bermimpi didatangi ular
phyton besar. Bukan cuma didatangi, dia juga bahkan bersetubuh dengan
ular tersebut.
“Setelah mimpi tersebut, esoknya telur lele hasil persilangan menetas
dengan bentuk yang sangat mirip dengan ular phyton. Jadilah ia diberi
nama lele phyton,” ungkap Wawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar