Jumat, 18 Oktober 2013

Lele Phyton Varietas Baru yang Menjanjikan

kini ada pendatang baru asal Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten yang tak kalah kinclongnya. Varietas tersebut adalah lele phyton.

Yang menarik, jika lele sangkuriang ditemukan oleh para peneliti bergelar akademik, lele phyton ditemukan oleh kelompok pembudidaya yang belajar secara otodidak. “Tapi kami yakin, secara kualitas lele phyton tak kalah dengan lele sangkuriang,” kata Wawan Setiawan, Ketua kelompok pembudidaya ikan air tawar Sinar Kehidupan Abadi yang menjadi penemu lele phyton.

Kualitas lele phyton juga diakui oleh Kasubdin Perikanan Budidaya Provinsi Banten, Wahjul Chair. Menurutnya, berdasarkan hasil pengujian ilmiah, lele phyton memang punya kualitas yang setara dengan lele sangkuriang. “Meski lele phyton ditemukan oleh pembudidaya namun kualitasnya boleh diadu dengan lele sangkuriang yang ditemukan dari laboratorium,” puji Wahjul.

Salah satu indikator tingginya kualitas lele phyton bisa dilihat dari konversi pakannya. Memiliki FCR (Food Convertion Ratio) 1:1, maka satu kilogram pakan yang diberikan kepada lele phyton juga akan menghasilkan sekilo daging. Bandingkan dengan FCR milik lele sangkuriang yang punya perbandingan 1: 0,81. Bukan itu saja, keunggulan lele phyton yang lain adalah soal rasanya. Memiliki tubuh bak ular phyton, lele phyton sangat lincah bergerak. Hal ini kemudian berkorelasi positif dengan rasa dagingnya. “Karena lebih lincah, rasa daging lele phyton terasa lebih enak dan gurih karena lemak yang terkandung lebih sedikit,” kata Wawan.

Bukan itu saja, karena lebih langsing lele phyton terlihat lebih menarik jika disajikan dalam masakan ketimbang lele dumbo yang tambun. Apalagi jika lele phyton diolah menjadi pecel lele, makin klop lah penampilannya. Kemampuan adaptasi Wawan, yang kelompoknya bermarkas di desa Bayumundu, Kecamatan Keduhejo, Pandeglang menuturkan, ditemukannya lele phyton berawal dari kenyataan benih yang ‘diimpor’ dari daerah lain lebih sering mati jika dipelihara di kolam di desa tersebut.

Benih asal daerah lain, kata Wawan tidak punya kemampuan untuk beradaptasi dengan iklim desa Bayumundu yang dingin. “Suhu di desa kami bisa mencapai 17°C pada malam hari. Akibatnya benih yang didatangkan dari daerah lain tidak mampu beradaptasi dan akibatnya mati,” tuturnya.

Wawan menceritakan, kelompoknya pernah mendatangkan setengah juta benih lele dari Lampung. Namun, benih tersebut memiliki tingkat mortalitas (kematian) yang sangat tinggi. “Seharusnya kami bisa panen 50 ton, ternyata hanya bisa panen sebanyak 22 ton. Akhirnya, kami berfikir bisa nggak bisa kami harus mencetak benih sendiri,” katanya.

Berawal dari kondisi tersebut, Wawan dan kelompoknya kemudian mulai mencoba mengembangkan lele asli pandeglang yang cocok dengan iklim di daerah tersebut. Setelah hampir dua tahun melakukan percobaan trial and error, lahir lah lele phyton pada 2004.

Wawan menjelaskan, lele phyton dihasilkan dengan menyilangkan induk eks Thailand generasi kedua (F2) dengan induk lele lokal. “Untuk induk lele lokalnya, kami tak tahu generasi yang ke berapa. Karena sudah bertahun-tahun dikembangkan di sini,” jelasnya. Digunakannya induk lele lokal dalam proses persilangan kemudian menghasilkan keunggulan lele phyton yang lain, yaitu kemampuan adaptasi terhadap iklim dingin yang dirniliki kabupaten Pandeglang. Kemampuan adaptasi tersebut membuat tingkat mortalitas lele phyton sangat rendah. Survival Rate (SR/tingkat kelangsungan hidup) lele phyton bisa jadi di atas di atas 90%,” kata Wawan yakin.

Kemampuan adaptasi lele phyton bukan sekedar berguna untuk daerah dingin, untuk daerah beriklim panas lele phyton punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. “Berdasarkan pengalaman, benih yang dihasilkan di daerah dingin selalu bisa bertahan di daerah yang berikilm dingin. Begitu juga halnya dengan lele phyton,” jelas Wawan. Untung terus. Yang jelas, kualitas lele phyton menjanjikan keuntungan marathon alias terus menerus.Menurut Wawan, dengan modal awal Rp5,8 juta, pendapatan pembudidaya bisa mencapai Rp. 7,2 juta. Itu artinya ada keuntungan sebesar 1,4 juta untuk 50 hari siklus lele phyton.

Begini perinciannya, untuk satu kolam dengan 1.000 ekor benih tebar dan harga benih Rp. 150/ekor, maka dibutuhkan Rp. 1,5 juta untuk pengadaan benih. Kemudian selama 50 hari pemeliharaan dibutuhkan satu ton pakan dengan harga Rp. 4.300/kg. Itu artinya dibutuhkan Rp. 4,3 juta untuk pengadaan pakan. Jadi total modal yang perlu disiapkan oleh pembudidaya Rp. 5,8 juta. Setelah 50 hari pemeliharaan, panen yang akan diperoleh mencapai satu ton.

Dengan harga jual Rp. 7.200/kg, pendapatan yang dikeruk pun mencapai Rp. 7,2 juta. Jadi, keuntungan yang bisa diperoleh mencapai Rp. 1,4 juta/siklus. “Yang membuat budidaya lele phyton semakin besar peluangnya adalah masih minimnya pasok ikan lele. Di Banten saja kebutuharmya yang mencapai 7 ton/hari belum terpenuhi,” kata Wawan. Kesimpulannya, buat anda yang ingin dipatuk keuntungan budidaya, lele phyton adalah pilihan yang tepat.

Pesona Magis Lele Phyton

Jika anda bertanya mengapa lele yang satu ini diberi nama lele phyton, mungkin dengan melihat bentuknya anda akan mafhum mengapa nama itu muncul. Bentuk tubuh lele ini, terutama kepalanya memang mirip dengan ular phyton. Tapi, asal tahu saja, ada unsur magis mengapa akhirnya lele made in desa Bayumundu itu dinamakan lele phyton. “Desa kami memang sangat kental dengan unsur magis, segala sesuatunya selalu dikaitkan dengan halhal ghaib, termasuk soal penamaan ikan lele,” ujar Wawan Setiawan.

Menurut Wawan, setelah berkali-kali gagal dalam percobaan untuk menghasilkan induk lele yang berkualitas, suatu malam anggota kelompok yang bertugas untuk melakukan penyilangan induk bermimpi didatangi ular phyton besar. Bukan cuma didatangi, dia juga bahkan bersetubuh dengan ular tersebut.

“Setelah mimpi tersebut, esoknya telur lele hasil persilangan menetas dengan bentuk yang sangat mirip dengan ular phyton. Jadilah ia diberi nama lele phyton,” ungkap Wawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar